Pengantar

Dalam dunia yang cenderung maskulin, bias gender tanpa disadari jadi terinternalisasi dalam masing-masing individu. Tak hanya dalam sektor pendidikan dan teknologi, bias-bias tersebut mudah ditemui di dunia medis, finansial dan administrasi, tata kota, serta lingkungan kerja. Magdalene merangkum cerita bias gender yang bisa kamu simak langsung dengan memainkan gim seru di bawah ini. Sudah siap ramai-ramai mendobrak bias?

Pilih Karakter



Share ke Medsos kamu!

Silakan bagi sebanyak-banyaknya gim ini ke media sosial kamu!




Game

Lima perempuan ini punya latar dan cerita beragam dengan situasi bias gender.
Masing-masing dari mereka punya cara sendiri menyikapi situasi yang tidak ideal tersebut. Pilihlah salah satu karakter dan mainkan gimnya agar kita dapat sama-sama menyelami kisah mereka.

Speaker 1

Agni

22 tahun, Bias gender di Lingkungan Kerja

Pilih Karakter
Speaker 2

Maria

33 tahun, Bias gender di Finansial & Administrasi

Pilih Karakter
Speaker 3

Lisa

26 tahun, Bias gender di Medis

Pilih Karakter
Speaker 4

Srikandi

24 tahun, Bias gender di Pendidikan

Pilih Karakter
Speaker 5

Lidya

29 tahun, Bias gender di Teknologi

Pilih Karakter


Artikel Utama

Perempuan Dobrak Bias: Dunia Diciptakan untuk Lelaki, tapi Kita Bisa Memilih


Bias Everywhere
“Maria”, 31 masygul saat kesempatannya berpindah ke desk liputan politik dan hukum kandas untuk kali kedua. Padahal sebelumnya ia sudah percaya diri akan bertugas di kanal favorit media massa tersebut. “Saya sudah membuktikan paham isu-isu politik dan hukum terbaru. Setiap kali rapat redaksi, pasti selalu menyumbang ide untuk liputan utama. Isunya, sih dipakai tapi sayanya tidak,” ujarnya pada Magdalene, (3/3).

Menurut Maria, alasan penolakan dari redakturnya relatif tak masuk akal. “Katanya, ibu muda seperti saya sudah paling pas menulis untuk desk gaya hidup atau kesehatan. Bebannya ringan, saya juga juga tak dituntut untuk berpindah-pindah lokasi peliputan hingga malam hari, sehingga anak jadi terlantar. Seolah-olah tugas mengurus anak dan rumah itu cuma melekat pada saya sebagai perempuan. Saya kesannya juga dipandang tak punya kapabilitas, waktu, atau ketahanan seperti wartawan lelaki,” gerutu alumni Politik Universitas Indonesia itu.

Apa yang dialami Maria sebenarnya adalah hal jamak. Pada 2014, The New York Times pernah menghitung, dari 21.440 artikel mereka, perempuan lebih banyak menulis artikel di 5 dari total 21 kanal, yakni fesyen, kuliner, rumah dan arsitektur, wisata, serta kesehatan. Sementara itu, pria menulis kebanyakan cerita kanal sisanya.

Bias Everywhere
Dalam konteks ini, pengalaman Maria dan banyak jurnalis perempuan di luar sana adalah contoh kecil betapa bias gender bisa terjadi bahkan di lingkungan berisi orang yang sadar tentang ini. Dalam artikelnya di Washington Post, penulis buku Invisible Women: Data Bias in a World Designed for Men (2019) Caroline Criado-Perez bilang, dalam alam bawah sadarnya, ia selalu membayangkan profesi prestisius seperti pengacara, dokter, dan saintis ditempati oleh lelaki. “Padahal saya seorang feminis,” tukasnya.

Bias gender yang terinternalisasi bisa terjadi karena dunia yang kita huni saat ini memang tak didesain untuk perempuan sedari dulu. Dalam bukunya, Perez bilang, mulai dari lingkungan kerja, pendidikan, teknologi, bahkan medis, perempuan hampir selalu dianggap liyan.

Bias Everywhere
Contoh paling sederhana, pada 1960-an, penentuan suhu standar kantor untuk pertama kalinya dibuat mengikuti sistem metabolisme rata-rata pria berusia 40 tahun dengan berat 154 pon. Ternyata dalam riset terbaru di Jerman suhu itu lebih dingin lima derajat atau kelebihan 35 persen untuk batas tubuh perempuan, sehingga memicu ketidaknyamanan bekerja. Situasi ketidaknyamanan ini cenderung tak ideal, sebab mengutip The Guardian, bukan hanya tidak adil, tetapi juga secara bisnis amat buruk: Tenaga kerja yang tidak nyaman adalah tenaga kerja yang tidak produktif.

Di Inggris, situasi ketidaknyamanan ini kerapkali diikuti dengan angka cedera dan kecelakaan yang fatal. Pada awal 1900-an, sekitar 4.400 orang di Inggris meninggal di tempat kerja setiap tahun. Pada 2016, angka itu ambles menjadi 135. Namun ternyata, penurunan statistik ini cuma berlaku untuk lelaki, alih-alih menimpa tubuh perempuan.

Bias Everywhere
Masih seputar tubuh perempuan, bias gender yang paling kentara terlihat di dunia medis. Para dokter dalam pengamatan Perez disebut-sebut ogah meneliti tubuh perempuan karena terlalu rumit, berubah-ubah bergantung situasi hormonal. Padahal, perempuan rentan mengalami gangguan kesehatan lebih berat dari para lelaki, termasuk kelainan jantung hingga gangguan reproduksi. Hal ini pula yang kerap memicu misdiagnosis pada perempuan.

Kisah “Lisa” yang mengalami nyeri hebat saat menstruasi hingga membuatnya ambruk di ruang inap rumah sakit adalah salah satu contohnya. Oleh dokter, Lisa diarahkan untuk menjalani tes darah, CT scan, dan MRI. Namun, tidak menemukan ada keganjilan yang menyebabkan Lisa terus merasakan nyeri perut.

Bias Everywhere
“Rasa sakit kamu paling hanya ada di kepala saja,” kata dokter itu lalu memberikan resep penghilang rasa sakit sebagai pengobatan. Saat mendengarnya Lisa hanya bisa terdiam dan merasa sedih sampai dia kembali pulang ke rumah.

Usut punya usut, baru ketahuan di kemudian hari bahwa ia menderita endometriosis–jaringan endometrium tumbuh di luar rahim, seperti saluran telur bahkan usus–dan adenomiosis–jaringan tumbuh di dalam rahim dan menembus permukaan ototnya, sehingga dinding rahim semakin tebal. Karenanya, saat menstruasi ada nyeri akut dan pendarahan berlebihan saat maupun sesudah siklus menstruasi.

Walaupun telah mendapatkan diagnosis yang tepat, Lisa dibuat risi ketika dokter kandungan yang memeriksanya justru menyarankan ia menikah dan memiliki anak agar gejala nyeri dari dua kondisi itu bisa berkurang.

Akar Bias Gender

Dalam dunia yang cenderung maskulin, bias gender ini akhirnya tanpa disadari jadi terinternalisasi dalam masing-masing individu. Akarnya adalah sistem patriarkal yang memang memberikan ruang lebih besar bagi laki-laki dalam pelbagai bidang. Lelaki dalam hal ini secara sosio-kultural diasosiasikan sebagai sosok perkasa, kuat, rasional, dan melindungi perempuan serta keluarga. Sebaliknya, perempuan dilabeli sebagai sosok keibuan, lemah lembut, dan cenderung emosional.

Pengejawantahan dari konstruksi sosial ini bisa kita saksikan dengan mudahnya saat mengotak-ngotakkan peran gender lelaki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Lelaki menjalani pekerjaan yang berat di ruang publik, sedangkan perempuan mengurus ruang privat. Lelaki bekerja di sektor yang macho, sedangkan perempuan sebaiknya bertugas di bidang-bidang yang mengutamakan soft skill—sebuah istilah yang sebenarnya masih problematis. Ini persis seperti yang dialami Maria, jurnalis yang secara kapabilitas mampu dan mau ditempatkan di desk politik dan hukum, tapi harus dijegal karena persoalan bias gender di lingkungannya.

Bias Everywhere
Konstruksi sosial yang bias ini nyatanya terbungkus dalam proses yang panjang, sosialisasi berulang-ulang, dan dilegitimasi dengan nilai-nilai tradisional serta peraturan yang tak punya semangat kemajuan zaman serta kesetaraan, tulis Walker dalam bukunya bertajuk Gender and Relation Relationships (1999).

Salah satu pintu masuk bias gender ini adalah lewat pendidikan. Kendati kurikulum pendidikan kita sejak 2013 (K-13) sudah lebih ramah gender lantaran memberikan wacana tentang pendidikan karakter dan upaya untuk menghindari dan memecahkan masalah sosial di masyarakat, seperti korupsi, konflik etnis, dan konflik keyakinan, tapi praktiknya tak semulus itu.

Lala, guru Sekolah Dasar (SD) di Jawa Barat menceritakan pada Magdalene, bagaimana buku ajar serta Lembar Kerja Siswa (LKS) versi pemerintah pusat untuk anak kelas 1-3 SD masih lekat dengan stereotip gender.

“Buku pelajaran dan LKS yang dipakai dalam proses pengajaran masih ada gambar-gambar yang mengotak-ngotakkan peran gender, apalagi di kelas 1-3 SD. Masih ada anggapan bahwa tugas domestik itu diasosiasikan dengan sosok perempuan, baik ibu atau perempuan. Anak perempuan membantu ibu memasak di dapur sedangkan anak laki-laki bisanya membantu ayah mencuci motor atau mobil,” tutur Lala lagi.

Pendidikan sejak dini yang tak cukup mengajarkan nilai-nilai kesetaraan akhirnya membuat perempuan dan lelaki menginternalisasinya sebagai norma ketika tumbuh dewasa. Bahwa sudah sepatutnya pembagian peran gender harus sesuai dengan yang kini berlaku. Perempuan sebaiknya jangan sekolah di bidang Science, Technology, Engineering, and Math (STEM) karena STEM lebih dominan berparas lelaki.

Peneliti bidang STEM Andi Misbahul Pratiwi mengamini, kesenjangan gender dalam STEM bisa dilihat dari minimnya perempuan yang mengenyam pendidikan di bidang ini. “Saat di SMK saya misalnya, hanya ada 10 anak perempuan dari total 40 murid. Ketika kuliah pun persentasenya tidak beda jauh padahal TI itu jurusan populer,” kata Andi yang merupakan lulusan Teknik Informatika (TI) dan Teknik komputer dan Jaringan semasa SMK.

Tak heran jika di tingkat global, representasi angkatan kerja perempuan di bidang STEM juga tidak kalah mengkhawatirkan. Merujuk laporan UNICEF 2020, perempuan hanya mengisi sekitar 40 persen dari angkatan kerja STEM di 68 negara. Masing-masing sangat kurang terwakili dalam pekerjaan teknik dan teknologi di masa depan, karena hanya sekitar 28 persen perempuan profesional yang ada di industri teknologi dunia.

Kurangnya representasi perempuan di angkatan kerja STEM apalagi kepemimpinan perempuan di dalamnya menjadi biang kerok kenapa pengambilan keputusan di level strategis masih dalam kendali penuh laki-laki. Dalam pemahaman patriarkal andosentris inilah peran dan perspektif perempuan dibungkam.

Minimnya representasi perempuan di STEM karena persoalan norma ini rupanya bukan problem tunggal. Perempuan yang pada akhirnya masuk ke dunia ini pun kerap dibuntuti dengan beragam diskriminasi hingga akhirnya mereka memutuskan untuk cabut dari bidang tersebut. Dalam laporan Pew Research Center 2018, rata-rata perempuan yang bekerja di bidang STEM lebih mungkin mengalami diskriminasi daripada laki-laki.

Tak cuma di sektor STEM, efek domino dari bias gender juga terasa di sektor politik. Ini adalah tentang siapa yang mengelola negara serta menyusun peraturan. Dalam produk perundang-undangan kita, bias gender secara telanjang diperlihatkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga. Di Pasal 25 Ayat (3), ada tiga kewajiban istri, yaitu mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya serta menjaga keutuhan keluarga. Kemudian, istri wajib memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berikutnya di Pasal 25 Ayat (2) disebutkan empat kewajiban suami. Pertama, sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga. Kedua, melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran. Ketiga, melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Keempat, melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

Peraturan yang bias ini sangat mungkin terjadi karena keberadaan perempuan dan atau orang yang punya perspektif gender di bidang politik masih relatif minim. Di Indonesia, seyogyanya afirmasi politik mencapai 30 persen. Namun di lapangan, kendati tiap periode jumlah keterwakilan meningkat, tapi masih jauh dari target. Di 2021, jumlah keterwakilan perempuan di Parlemen setara dengan 20,87 persen dari total anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sebanyak 575 orang. Angka ini masih sangat timpang dengan negara-negara lain, seperti Finlandia sebanyak 47 persen pada 2018, Rwanda 61,3 persen, Kuba 53,2 persen, Bolivia 53,1 persen, dan seterusnya.

Media Andil Kekalkan Bias Gender

Jika bicara konteks hari ini, bias gender cenderung awet karena dibantu oleh media, dari media massa maupun produk budaya populer seperti acara televisi, film, iklan, dan sejenisnya.

Bias Everywhere
Beberapa waktu lalu misalnya, pemberitaan soal atlet perempuan yang ditulis jurnalis Ridho Permana di media daring memantik kecaman publik. Tak hanya mengobjektifikasi perempuan, ia juga konsisten untuk selalu menerbitkan artikel yang seksis, bias, dan diskriminatif. Itu tampak dalam sejumlah judul, seperti: “Duh, Pose Mengangkang Pebulutangkis Kanada di Gym Bikin Ngilu”, “Pose Seksi Bidadari Bulutangkis Australia di Ranjang Bikin Ngilu”, “Bikin Gagal Fokus Pose Bidadari Bulutangkis Australia di Gym”, “Jeritan Hati Pebulutangkis Cantik Myanmar Mengenaskan di Olimpiade”.

Apa yang dilakukan Ridho juga diimitasi oleh jurnalis lainnya saat menulis berita politik. Alih-alih menguraikan prestasi atau pencapaian figur politik perempuan, media latah mengeksploitasi sensasi dan aib dari perempuan tersebut. Daripada menceritakan gagasan politik anggota dewan perempuan, lebih baik angkat saja koleksi sepatunya, merek-merek tasnya, atau panas dingin situasi rumah tangga mereka dengan suaminya.

Di iklan, film, dan acara televisi pun tone-nya nyaris senada. Perempuan dipersepsikan sebagai sosok yang kepadanya melekat peran-peran menjadi ibu rumah tangga, pun dianggap tugasnya hanya memikat para lelaki saja. Sebab itulah, iklan-iklan produk pemutih, parfum, pelangsing, alat-alat rumah tangga cuma diperuntukkan untuk perempuan, alih-alih konsumen lelaki.

Pertanyaannya, kenapa media bisa bertindak demikian? Tentu saja kita tak bisa menyalahkan seorang Ridho Permana atau wartawan lain yang menulis berita. Kita juga tak bisa menyalahkan penulis skenario film dan sinetron TV yang membuat peran perempuan tak pernah mengalami kemajuan. Pasalnya, ada struktur besar di media yang di dalamnya berisi banyak kepentingan. Mengais klik, mencari keuntungan adalah beberapa kepentingan yang hendak dicapai oleh perusahaan media, apapun platformnya.

Khusus di media massa, kepentingan para pemilik atau pemodal ini diperparah dengan kondisi rendahnya jumlah wartawan perempuan di ruang redaksi. Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jumlah petinggi redaksi perempuan hanya berkisar di angka enam persen. Artinya, 94 persen atau mayoritas jurnalis perempuan bekerja sebagai reporter atau bukan pengambil keputusan redaksional. Kecilnya jumlah jurnalis perempuan dalam redaksi menyebabkan kurang ramahnya banyak kebijakan media terhadap kebutuhan perempuan, termasuk dalam tugas peliputan dan masalah pengupahan.

Kalau sudah sefatal ini, lantas inisiatif apa yang sebaiknya kita lakukan? Lalu, apa saja bias-bias dalam masyarakat yang masih menggelayuti kita? Mainkan gim dan baca artikel-artikel konstruktifMagdalene dalam proyek jurnalisme data edisi spesial International Women’s Day Mendobrak Bias.

Proyek jurnalistik ini didukung oleh Meedan, organisasi non-profit di bidang teknologi yang punya visi memperkuat literasi digital dan jurnalisme global.



Artikel lainnya

Artikel-artikel menarik tentang bias gender di berbagai sektor.

Speaker 1

Bias Medis:
Misdiagnosis, Problem Laten yang Ancam Kesehatan Perempuan

Bias gender dalam medis ditemukan saat keluhan pasien diabaikan, riset yang mengecualikan perempuan, dan pendidikan yang tak sensitif gender.

Speaker 2

Bias Teknologi:
Masalah Besar di STEM: Representasi Perempuan dan Produk yang Bias

Teknologi tidak pernah netral gender. Sebaliknya, itu kerap memperparah stereotip dan bias-bias lainnya.

Speaker 3

Bias Tata Kota:
Membangun Kota Ramah Gender: Lelaki juga Diuntungkan

Kota ramah gender dianggap hanya memenuhi kebutuhan perempuan. Faktanya tak demikian.

Speaker 4

Bias Pendidikan:
Pengalamanku Sebagai Perempuan yang 'Ditempa' Kurikulum Kita

Setelah ngobrol dengan dua siswi generasi hari ini, aku berefleksi tentang bagaimana kurikulum kita membentuk kami, perempuan Indonesia.

Speaker 5

Bias Lingkungan Kerja:
Kerap Dinomorduakan, Karier Perempuan Minim Harapan

Sejumlah perusahaan masih enggan merekrut pekerja perempuan. Alasannya beragam, dari faktor keamanan, kurang potensial, hingga menghambat kemajuan.

Speaker 5

Bias Finansial:
Asal Suami Senang: Bias Aturan Perbankan dan Sulitnya Perempuan Punya Usaha

Perempuan cenderung lebih sulit mendapat pinjaman kredit untuk modal usaha. Alasan harus menyertakan “izin suami” jadi salah satu hambatan yang sering muncul.

Kuis




Pesta Perempuan



Tim Proyek Mendobrak Bias


Penanggung jawab/Pemimpin Redaksi:
Devi Asmarani
Redaktur Pelaksana:
Purnama Ayu Rizky
Editor:
Aulia Adam
Reporter/ Periset:
Aurelia Gracia, Jasmine Floretta, Tabayyun Pasinringi
Desainer Grafis:
Jeje Bahri, Maulida Belliana P
Web Developer:
Denny Wibisono
Media Sosial:
Siti Parhani
SEO Specialist:
Kevin Seftian
Community Outreach:
Paul Emas
Community Outreach Assistant:
Tenny Maria